Selasa, 26 Juli 2011

Permasalah Di Dalam Kawasan TNK

 
           Taman nasinal kutai merupakan salah satu taman nasional yang pengelolaan wilayah di dalamnya sangat kacau,mengapa saya mengatakan kacau??
ini di sebabkan karena di dalam wilayah ini telah berdiri dengan kokoh perkampungan dan perusahaan tertentu. di bawah ini akan di jelaskan mengenai kerusakan-kerusakan dan penyebabnya: 

1.      Eksploitasi kayu dan minyak bumi

         Menurut Wirawan (1985), pada tahun 1969 luas kawasan Suaka Margasatwa Kutai yang asli dikurangi 100.000 hektar pada daerah pantai dan dimanfaatkan untuk eksploitasi minyak bumi dan penebangan kayu, namun akhirnya dikembalikan lagi sebagai kawasan Suaka Margasatwa pada tahun 1971. Akibat kerusakan dibagian timur BIOTROP (1974), dan Cokburn Sumardja (1979) merekomendasikan agar dibagian timur dimasukkan sebagi Suaka Margasat 
wa. Namun berdasarkan tatabatas tahun 1979 yang dilakukan oleh Direktorat Bina Program kawasan bagiantimur tetap masuk dalam kawasan Suaka Margasatwasesuai dengan Keputusan Menteri Pertanian No. 280/Kpts/Um/6/1971 tanggal 23 Juni tahun 1971. Ekosistem peralihan antara daerah pantai dan dataran rendah memiliki keragaman hayati yang khas dan unik sehingga perlu dipertahankan sebagai kawasan yang dilindungi
gambar: eksploitasi kayu dan minyak bumi


2.      Kebakaran Hutan
Bagian timur kawasan pernah mengalami kebakaran tahun 1982/1983 dan kebakaran hutan tahun 1997/1998, namun dibeberapa tempat masih dapat terlindung dari kebakaran terutama di daerah dekat sungai yang lembab dan basah, hutan rawa dan vegetasi hutan mangrove.

 

              gambar: kebakaran hutan di kutai timur


 3. Dinamika masyarakat pendatang
     
        Beberapa studi menyebutkan bahwa masyarakat pendatang dari Sulawesi sejak lama telah menghuni beberapa kantong pemukiman di kawasan bagian timur Suaka Margasatwa Kutai. Hal ini disebabkan oleh kondisi politik di Sulawesi Selatan yang tidak kondusif akibat pemberontakan Kahar Muzakar (1954) menyebabkan beberapa orang menyeberang ke Kalimantan dan menghuni kawasan pesisir. Keberadaan pertambangan minyak di dalam kawasan bagian timur (1976) juga menyebabkan keberadaan masyarakat yang berada di kantong-kantong pemukiman bertambah.
















gambar: wilayah TNK yang telah menjadi perkampungan














gambar: wilayah TNK yang telah menjadi lahan  perkebunan


4.      Perubahan kondisi geopolitik di sekitar kawasan

Perubahan kondisi politik di sekitar kawasan yang cepat dengan ditandai dengan lahirnya UU Otonomi Daerah No. 22 Tahun 1999 dan perubahan regulasi tentang kehutanan melalui UU No. 41 Tahun 1999. Lahirnya Kabupaten Kutai Timur yang beribukota di Sangatta dan kota administratif Bontang (1999) yang berbatasan langsung dengan Taman Nasional Kutai telah menimbulkan dampak langsung terhadap kerusakan kawasan di bagian timur. Tumbuhnya industri-industri migas, pupuk, dan batubara telah menjadi daya tarik bagi pendatang untuk mencari pekerjaan.
Fakta lain yang dijumpai adalah fokus pembangunan daerah juga mengarah pada daerah Sangatta dan sekitarnya, selain dekat barangkali merealisasikan proyek-proyek pembangunan di dekat ibukota Kabupaten lebih mudah daripada di daerah pedalaman yang secara infrastruktur sulit dijangkau. Akibatnya sebagian masyarakat di pedalaman ikut ramai-ramai melakukan okupasi kawasan dengan alasan ingin dekat dengan kota yang lebih tersentuh pembangunan.
Demikian halnya dengan pemerintah daerah yang juga tidak mematuhi hukum sama sekali, beberapa kebijakannya kemudian merugikan sektor kehutanan. Hal ini dapat dipahami karena jabatan Bupati bersifat jangka pendek sehingga banyak Bupati yang kemudian berorientasi jangka pendek. Hasilnya Taman Nasional Kutai dijadikan lahan untuk menghasilkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang dibutuhkan bagi pembangunan lokal, indikasi hal ini terlihat dari ijin-ijin pembangunan dan pertambangan yang muncul di dalam kawasan Taman Nasional Kutai. Selain itu, dampak dari perubahan politik yang terjadi juga mengakibatkan perubahan sistem perpolitikan di Indonesia dan perubahan tatanan di masyarakat.

5.      Euphoria Desentralisasi

UU No. 22 Tahun 1999 sebagai sebuah produk hukum yang mengatur tentang desentralisasi penyusunan perundang-undangannya dilaksanakan secara cepat dan di bawah situasi transisi menyusul jatuhnya rezim sebelumnya; karenanya, perundang-undangannya tidak lengkap dan tidak tepat. Beberapa bulan setelah ditetapkannya Undang-undang No. 22 Tahun 1999, ditetapkan Undang-undang Kehutanan No. 41 Tahun 1999. Implementasi kedua undang-undang ini telah menciptakan permasalahan bagi pihak-pihak yang bertanggung jawab mengelola hutan dan sumberdaya hutan. Perbedaan terminologi desentralisasi, otonomi dan reformasi ini yang kemudian menjadi cikal bakal permasalahan termasuk di sektor kehutanan. Tidak hanya itu saja, reformasi dan desentralisasi juga mengakibatkan penegakkan hukum menjadi lemah.
Seiring dengan berjalannya waktu ternyata desentralisasi juga tidak memberikan perubahan yang berarti terhadap masyarakat, pembangunan masih tetap tidak merata dan cenderung terpusat pada kota-kota serta lebih bersifat fisik sehingga muncul ketidakpuasan masyarakat khususnya yang terisolir atau jauh dari pusat keramaian. Salah satu bentuk ketidakpuasan itu adalah kemudian masyarakat yang hidup di wilayah-wilayah terpencil menduduki kawasan-kawasan yang lebih terbuka dan dekat dengan kota hanya sayangnya beberapa dari daerah yang mereka duduki merupakan kawasan Taman Nasional Kutai yang tidak diperkenankan secara hukum.
Masa berganti masa, musim berganti musim, masalah demi masalah mulai terkuak. Namun, hal ini ntidak membuat semangat Balai Taman Nasional Kutai (TNK) menjadi kendur. Semua permasalahan akan menjadi tantangan yang harus ditaklukkan dan dan mengubahnya menjadi sebuah peluang kerjasama yang kolaboratif. Sebagai seorang kepala balai yang diembani tugas untuk mengembalikan citra Taman Nasional Kutai, Pak Tan, julukan beliau, tidak tanggung-tanggung akan membawa seluruh personil balai berlari, bahkan beliau telah mengepakkan sayapnya untuk merangkul para relawan, pemerhati dan kawan-kawan yang peduli terhadap keberadaan TNK untuk mempertahankan dan memulihkan kawasan TNK sebagai habitat terbaik orang utan Morio (Pongo pygmaeus morio) yang ada di Kalimantan Timur.
Dalam kerangka mempertahankan mempertahankan dan memulihkan kawasab TNK yang diterpa konflik kepentingan, Balain TNK harus membuat langkah-langkah penyelesaian yang realistis. Upaya pengamanan kawasan merupakan prioritas utama dalam penyelesaian masalah yang terjadi. Untuk mempertahankan kawasan, upaya pengamanan kawasan tidak hanya dilakukan secara preventif, namun juga cara represif dengan melibatkan para penegak hukum baik yang berasal dari Kota Bontang, Kabupaten Kutai Kartanegara maupun Kabupaten Kutai Timur serta menurunkan tim SPORC, sebuah tim yang dibentuk khusus untuk menangani permasalahan-permasalahan pelanggaran hukum di bidang kehutanan. Bahkan Kepolisian  Daerah Kalimantan Timur pun turut berperan aktif dalam bentuk komitmen kerjasama. Kondisi TNK yang penuh ancaman, turut menarik simpati pihak luar seperti ICITAP (International Crime and Investigative Training Assistance Program) sebuah lembaga pemerintah di bawah Departemen Kehakiman Amerika Serikat yang bergerak di bidang investigasi dan pelatihan penegakan huku, untuk bekerjasama dalam upaya perlindungan ekosistem di TNK.
Upaya pengamanan kawasan juga dibarengi dengan penegakan hukum terhadap semua pihak yang terlibat dalam kegiatan penggunaan kawasan TNK yang tidak sesuai peruntukkannya, seperti perambahan, penebangan liar, dan pendirian bangunan ilegal. Balai TNK tidak pandang bulu dan akan bersikap adil dalam memberantas perusak kawasan, termasuk oknum-oknum pemerintah yang terlibat. Sebagai langkah awal, akan diperbanyak papan-papan informasi dan larangan di dalam kawasan. Pemasangan papan-papan ini diharapkan dapat memberikan kesadaran semua pihak, khususnya masyarakat yang berada di dalam kawasan, bahwa TNK adalah kawasan konservasi yang harus dijaga dan memiliki konsekuensi hukum, serta tidak dapat dimiliki oleh pihak manapun kecuali negara.
Upaya pemulihan kawasan TNK yang telah mengalami degradasi fungsi dilakukan dengan kegiatan rehabilitasi, melibatkan para pihak terkait khususnya pemerintah daerah dan jajaran muspida, serta masyarakat pelajar. Memberikan penyadaran tentang arti penting keberadaan TNK dan turut berperan serta dalam menjaga dan melestarikannya, menjadi tujuan utama kampanye TNK.
Meneruskan perjuangan yang luar biasa untuk mengembalikan citra Kutai, membutuhkan suatu arah yang jelas guna memelihara multifungsi kawasan TNK bagi kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, di wal tahun ini pula, disusunlah suatu rencana pengelolaan TNK untuk jangka waktu 20 tahun mendatang dan dilanjutka dengan penyusunan rencana strategis untuk menyelesaikan permasalahan prioritas dalam jangka waktu 5 tahun. Permasalahan prioritas TNK yang akan diselesaikan selain pengamanan kawasan adalah pemantapan kawasan TNK. Belum selesainya proses tata batas luar TNK menjadi salah satu kendala proses pengukuhan kawasan dalam kerangka pemantapan kawasan. Hal ini memicu munculnya permasalahan penggunaan kawasan TNK yang tidak sesuai peruntukkannya, walaupun Menteri Kehutanan melalui suratnya kepada Kepala Kepolisian Republik Indonesia menegaskan bahwa seluruh kawasan yang telah ditunjuk sebagai taman nasional walaupun belum ditetapkan, memiliki konsekuensi hukum sesuai peraturan perundangan yang berlaku. Dengan demikian, tidak ada ampun lagi bagi para perusak hutan dan mereka tidak akan dapat lari dari proses penegakan hukum!

Sejarah Penetapan Dan Perubahan Peruntukan Lahan TNK

Secara historis, kawasan ini di zaman Belanda ditetapkan sebagai hutan persediaan melalui SK Pemerintah Belanda (GB) No. 3843/AZ/1934 dengan luasan 2.000.000 ha. Pada tahun 1936, Pemerintah Kerajaan Kutai dengan SK ZB No. 80-22- ZB/1936 menurunkan luasan kawasan tersebut manjadi kawasan Suaka Margasatwa dan luasnya diturunkan menjadi hanya seluas 306.000 ha. Tidak diperoleh data mengenai alasan perubahan dan pengurangan luas kawasan ini serta peruntukan areal 1.694.000 ha sisanya. Di zaman kemerdekaan, kawasan ini tetap dipertahankan sebagai kawasan suaka margasatwa melalui SK Menteri Pertanian No. 110/UN/1957. Namun kondisi ini ternyata tidak bertahan lama karena luas kawasan kembali berkurang dengan diterbitkannya SK Menteri Pertanian No.230/Kpts/Um/6/1971 yang mencabut sebagian areal Suaka Margasatwa Kutai seluas 106.000 ha dan dilepas untuk kegiatan HPH PT. Kayu Mas (60.000 ha), 46.000 ha diberikan kepada PT. Pupuk Kaltim (PKT) dan Industri gas PT. Badak NGL. Pada tahun 1982, kawasan ini kemudian dideklarasikan pada Kongres Taman Nasional III Sedunia di Bali sebagai satu dari 11 calon TN yang kemudian ditindaklanjuti dengan SK Menteri Kehutanan No. 736/Mentan/X/1982 yang menetapkan bahwa areal 200.000 ha ini menjadi calon Taman Nasional Kutai. Akan tetapi, pada tahun 1991, melalui SK Menhut No.435/Kpts/XX/1991 lagi-lagi areal calon Taman Nasional ini dikurangi seluas 1.371 ha untuk kepentingan perluasan kota Bontang dan PT. Pupuk Kaltim. Pada tahun 1995 Menteri Kehutanan mengeluarkan SK. No 325/Kpts-II/1995 tentang perubahan status kawasan dari Suaka Margasatwa Kutai kemudian ditunjuk menjadi Taman Nasional Kutai. Tidak lama berselang dikeluarkannya SK tersebut, pada tahun 1997, pemerintah kembali mengeluarkan SK Menteri Kehutanan No. 997/ menhut-VII/1997 tentang pelepasan kawasan hutan seluas 25 ha untuk pembangunan perumahan Loktuan dalam rangka perluasan kota administratif Bontang. Berdasarkan data di atas, dalam kurun waktu 63 tahun terakhir terhitung sejak tahun 1934 sampai tahun 1997 kawasan ini terus mengalami pengurangan luas secara drastis dan mencapai 1.801.371 ha.

Minggu, 24 Juli 2011

kawasan taman nasional kutai

Taman Nasional Kutai terletak di Provinsi Kalimantan Timur, mencakup kawasan seluas 198.629 hektar. Taman nasional ini berada di 3 kabupaten/kota yaitu Kabupaten Kutai Timur, Kutai Kertanegara dan Kota Bontang. Namun, sekitar 80% kawasan masuk wilayah administratif Kabupaten Kutai Timur Kutai. Taman Nasional Kutai memiliki variasi kawasan. Di sini dapat ditemui dataran tinggi dan rendah serta wilayah pesisir. Taman nasional ini terkenal kaya akan keanekaragaman hayati, memiliki ragam flora dan fauna. Misalnya, paling tidak 900 jenis flora tercatat ada di sini. Belum lagi keberadaan beberapa binatang endemik yang dilindungi seperti orang utan, burung enggang dan kura-kura berkaki gajah. Taman Nasional Kutai juga berfungsi mengatur sumber air bagi sungai-sungai yang berhulu di sini yang kemudian mengalir ke tiga wilayah sekitar: Kutai Timur, Kutai Kertanegara dan Bontang. Sebelum diputuskan menjadi taman nasional, kawasan ini memiliki catatan sejarah yang cukup panjang. Tahun 1934 di masa penjajahan Belanda, pemerintah kolonial menunjuk areal seluas lebih kurang 2 juta hektar sebagai wilayah hutan yang dilindungi (Forestry Reserve). Luas ini juga mencakup Taman Nasional Kutai sekarang ini. Kemudian, tahun 1936, Sultan Koetai menyetujui 306.000 hektar sebagai Suaka Margasatwa untuk melindungi hewan-hewan yang ada di dalamnya. Sesudah masa kemerdekaan, di tahun 1957, Menteri Pertanian secara formal mengesahkan status kawasan sebagai Suaka Margasatwa Kutai. Selanjutnya, pada 1982 saat diadakan Kongres Taman Nasional Sedunia yang ke-3 di Bali, Menteri Pertanian mengusulkan areal seluas 200 ribu hektar sebagai taman nasional. Lebih lanjut, pada 1991, dari jumlah yang diusulkan di Bali tersebut, 1.371 hektar dikeluarkan dari usulan karena diperuntukan bagi perluasan wilayah kota Bontang dan wilayah kerja PT Pupuk Kaltim. Lalu, di tahun 1995, Menteri Kehutanan mengeluarkan Surat Keputusan No. 352/Kpts-II1995 yang secara resmi mengesahkan Suaka Margasatwa Kutai sebagai Taman Nasional Kutai. Wilayah ini mencakup area seluas 198.629 hektar, termasuk Dusun Teluk Lombok yang telah ada di situ jauh sebelumnya.

Pilihan Untuk Bertahan hidup Dan Terus Berjuang

Tulisan ini akan menguraikan tentang kemampuan masyarakat Dusun Teluk Lombok, Taman Nasional Kutai,  Kalimantan Timur untuk menentukan pilihan yang berbeda dengan masyarakat lain disekitar yang lebih cenderung merusak alam di sekitar taman nasional . Meski upaya untuk mencapai kehidupan yang lebih baik tidaklah mudah, masyarakat di dusun Teluk Lombok memilih untuk mengelola sumber-sumber alam di sekitar mereka dengan lebih bijaksana. Pilihan untuk berjuang dan tidak untuk menyerah atau bahkan ikut ikutan merusak lingkungan menarik untuk dipelajari. Tulisan ini bermaksud menggali berbagai faktor yang mendorong dan yang mempengaruhi pilihan ini...Dari penelitian singkat yang dilakukan penulis, setidaknyaditemui ada empat hal yang berpengaruh pada pilihan masyarakat Teluk Lombok yaitu: pengalaman masa lalu mereka terkait dengan dampak dari kerusakan lingkungan, keberadaan pemimpin lokal yang menjadi panutan masyarakat, keberadaan LSM pendamping dan faktor kuatnya kerekatan sosial.